24 Februari 2019

Itu Kertasku

Pagi yang cerah itu, kulihat anak perempuan kecil cantik nan tinggi, tak begitu kurus, juga tak begitu gemuk. Ia bersama adik perempuannya, berlarian di serambi masjid dengan riang. Kalau kutebak, mungkin ia seusia adikku yang meninggal. Kurang lebih enam tahun, selisih tiga tahun denganku. 

Senyumnya manis sekali, sesekali ia menuntun adiknya untuk tak jauh-jauh dari ayah ibunya. Kuperhatikan, adiknya punya watak yang kuat. Bila tak mau, maka ia akan berusaha melepaskan ajakan sang kakak dan tetap berlari kemana saja ia mau. Dari wajahnya, kulihat adiknya anak yang easy going, nggak baperan, atau sekilas terlihat cuek.

Matahari mulai meninggi, jarum jam pun sudah menunjukkan pukul 09.30 dan pengajian belum juga dimulai.

"Assalamualaikum warokhmatullohi wabarokatuh."

Alhamdulillah, akhirnya kudengar suara pemuda masjid memulai acara pengajian dhuha itu. Aku pun masuk ke dalam masjid dan berusaha mengikuti pengajian dengan ibuku.

Sebenarnya aku malas sekali ikut ibu ke pengajian ini. Namun ibu tetaplah ibu, percuma aku melawan. Ujung-ujungnya aku yang harus menurut.

Di tengah pengajian, aku melihat dua anak perempuan tadi bersama ibunya. Namun tak lama, mereka keluar menuju serambi.

Aku pun ikut keluar dari masjid, karena aku lebih tertarik memerhatikan tingkah mereka. 

Lagi pula, aku juga ingin menghirup udara segar di serambi masjid dari pada udara dari Air Conditioner.

Aku duduk dan sesekali tersenyum melihat anak perempuan tadi berlarian.

Kali ini aku hanya melihat adiknya, dia berlarian dengan anak lain seusianya. Mungkin dia belum genap dua tahun. Badannya mungil dan sependengaranku bicaranya belum begitu jelas.

Kucari kakaknya ke seluruh sudut. Ternyata ia sedang menggambar. Rupanya sang ibu menyiapkan krayon dan beberapa lembar kertas kosong untuk media menggambar. Ide bagus, ini kan acara pengajian orang dewasa. Anak-anak pasti bosan bila tak ada kegiatan yang bisa dilakukan selain mendengarkan. Sama sepertiku. 

Tapi, ya sudahlah. Lagi pula aku juga malu bila harus melakukan hal yang sama dengan anak itu.

...

Dua jam lebih berlalu. Pengajian pun telah usai. Ibuku keluar masjid dan izin ke kamar kecil. Aku pun menunggu.

Kuperhatikan anak itu, dia seperti melaporkan hal penting pada ibunya.

"Bunda, kertas aku kurang satu." Ucapnya.

"Ini sayang kertasnya, tadi bunda yang merapikan." Ibunya pun menjawab

"Iya tapi kurang satu, bun." Anak itu seperti paham sekali apa yang terjadi.

Kudengar mereka berdua menghitung jumlah kertas yang mereka pegang. Dan kuperhatikan, ibunya menyadari kalau ada kertas yang kurang.

"Ah, pintar sekali anak itu," gumamku dalam hati.

"Tadi aku lihat kakak itu mengambil kertasku." Lapor anak itu pada ibunya.

"Kakak yang mana?" Tanya ibunya penasaran.

"Itu yang di tangga, yang nggak pakai peci." Jawab anak itu sembari menunjuk ke arah tangga.

Ibunya terlihat menarik nafas sebentar. Lalu tersenyum sebelum kemudian mengantar anak itu menuju tangga.

"Kak, lihat kertasnya adek ini, nggak?" Kudengar pertanyaan terlontar untuk anak lelaki di tangga.

"Lihat. Itu, jatuh." Jawabnya.

Kemudian teman-temannya saling mengungkapkan kejadian sebelumnya. Bahwa kertas itu bukanlah jatuh, namun sengaja dijatuhkan. Anak lelaki yang menjawab pertanyaan tadi pun dengan terpaksa mengambil kertas dan memberikan kepada ibu anak perempuan.

Beruntung anak perempuan tadi punya ibu yang mengajarkan untuk membela haknya. Tak lama, kulihat anak perempuan tadi tersenyum lega dan melanjutkan perjalanannya untuk pulang ke rumah.

Teringat masa kecilku, sering sekali aku diminta mengalah, memberikan hakku dengan paksa untuk anak lain. Bahkan sampai sekarang. Andai ibuku tahu bahwa sekecil apa pun hakku, itu harus kupertahankan. Bukan untuk dipaksa kuberikan untuk hanya karena tak mau repot.

Mengalah, tak selamanya baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.