23 Mei 2013

Kisahku Melahirkan (1)

Setelah dua minggu saya cuti dikampung halaman, dengan rutinitas yang lebih santai (belajar menjadi ibu rumah tangga dengan diselingi seam hamil di pagi hari) daripada di kota metropolitan, rasanya semakin dag dig dug. Belum lagi kabar dari satu per satu kawan telah melalui proses persalinan ‘normal’-nya. Wah, rasanya seperti duduk dalam antrean, dan entah berapa hari lagi antrean itu jatuh kepada saya. Setiap hari saya mempersiapkan mental saya, agar kelak ketika tiba saatnya, saya sudah benar-benar siap. 

Alhamdulillah suami saya begitu sabar menyemangati saya dan selalu meng’hipnotis’ saya bahwa melahirkan itu tidak sakit. Saya dan suami belajar bersama tentang IMD, menyusui, ASI dan manajemen ASIP serta mengumpulkan berbagai informasi tentang Rumah Sakit yang bagus untuk melahirkan. Alhamdulillah rencana kami agar bisa melahirkan di RS yang pro-ASI dan rooming-in berhasil. Rumah sakit itu bernama Harapan Anda, sebuah Rumah Sakit Umum Islam (RSUI) yang beralamatkan di Jl. Ababil No.42 Tegal.
 

Sabtu itu, suami saya lagi dirumah (setiap weekend pulang kampung kalau tidak ada kesibukan lain). Hari ini kami berencana meniliki RS Harapan Anda dan periksa ke dokter kandungan. Sebelum sampai RS, kami membeli kasur bayi yang memang kami rencanakan beli di kampung. Rumah sakitnya oke banget, dari mulai keramahan perawatnya, sampai dengan ruangannya. Belakangan kami ketahui bahwa Harapan Anda adalah rumah sakit sayang Ibu dan Bayi terbaik se-Jawa Tengah (kami lihat sendiri bukti penghargaan itu), Wow! Sungguh tidak salah pilih. Dari RS, kami lanjut periksa ke dokter kandungan yang memang dinesnya di RS Harapan Anda, namanya dr. Hj. Lisnur Saptowati, Sp.OG. dokternya cantik, ramah, ‘Jowo’ banget, dan profesional (dalam artian tidak giri-giri operasi saja melahirkannya). 

Kami membawa hasil Lab.cek darah yang memang sebelumnya diminta oleh dokter. Hasilnya hb saya rendah sekali, delapan koma saja. Dan melihat hasil itu, segera dokter memberikan rujukan untuk transfusi darah di rumah sakit. Hikss... rasanya takut sekali, seperti apa proses transfusi, saya tidak ada bayangan, dan lagi pasti akan ada banyak jarum suntik yang mendarat di tubuh saya, ngeri sekali membayangkannya. Suami sih menyarankan agar sore itu juga langsung ke rumah sakit, biar tidak bolak balik kerumah dan prosesnya segera selesai, karena kami kira prosesnya bisa satu hari, kan mumpung ada suami yang menemani, karena senin sudah harus berangkat dinas ke Aceh. Tapi karena mental saya belum berani, saya putuskan untuk pulang dulu, untung suami ekstra sabar menerima keputusanku. 

Dirumah, saya tetap ketakutan membayangkan transfusi darah sambil menangis (cengeng banget ya calon ibu yang satu ini). Kemudian suami menjelaskan dengan tenang, sabar, agar saya mau segera ke rumah sakit. Akhirnya, dengan penuh keyakinan, ba’da isya kami berangkat ke rumah sakit dengan bekal satu tas berisi mukena dan pakaian untuk sehari. Sampai di rumah sakit, suami urus administrasi, kemudian kami menuju ke ruang UGD. Ah, petualangan dengan jarum akan dimulai. Benar saja, saya diperiksa dan kemudian diinfus. Tak lama kemudian, saya dipindah ke ruang rawat dengan perjalanan yang memusingkan, bayangkan saja, dengan mata terbuka, posisi tiduran didorong perawat dengan medan yang berbelok-belok (haha...lebay). sampai di ruang rawat, ternyata tidak langsung ditransfusi darah, karena ternyata kalau transfusi itu darahnya harus diolah dulu (ini lebih tidak bisa saya bayangkan lagi prosesnya, hihihi...)

Malam pun berlalu.
Pagi-pagi darah itu baru siap, dan proses transfusi pun dimulai, air bening itu berubah menjadi merah tajam. Waktu berjalan dan kantong pertama pun kosong, semua darah telah masuk ke tubuh saya. Dan infus pun diganti dengan cairan bening lagi. Malam datang, tiba saatnya suami saya kembali ke Ibukota untuk mengabdi pada negara. Tak lama setelah ia berangkat, transfusi kantong kedua pun dimulai. Senin pagi datang, infus itu berganti lagi menjadi bening. Menunggu hasil, (karena menurut perkiraan dokter, saya hanya butuh dua kantong darah) hingga saat itu pun tiba. Suster memberitahu bahwa hb saya masih kurang memenuhi, belum mencapai sepuluh. Karena itu harus ada kantong ketiga. Ahh.. rasanya ingin sekali pulang, jalan pagi lagi, senam hamil lagi, tak betah tiduran dan berjubel dengan infus. Tangan sudah mulai bengkak, badan sudah ingin sekali mandi seperti biasanya.

Esok harinya, kantong ketiga dipasang, belum sampai setengah kantong, saya menggigil hebat, panas, dan perut  serasa berkontraksi, sakit sekali rasanya. Lama kelamaan, rasa mual pun muncul, dan akhirnya saya muntah. Melihat kondisi saya, salah satu bidan memutuskan untuk mencabut kantong darah dari selang infus dan diganti cairan bening  lagi. Tapi kondisi saya masih sama. Untuk bicara saja mulut saya rasanya tak mampu. 

lanjutan cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.