19 Januari 2015

Liburan di Ponorogo

Alhamdulillah kesampaian juga menulis lagi. Postingan mengendap di draft karena kesoksibukan beberapa waktu yang lalu. Iya betulan antara urusan di kantor sama urusan melanjutkan pendidikan yang udah mepet deadline semua. Memaksa saya ngga bisa menulis barang satu tulisan. 
Kali ini mau cerita liburan di Ponorogo awal bulan lalu. Sebetulnya sama sekali ngga ada rencana liburan. Tapi karena saya dan suami sangat kangen kota kelahiran suami, jadilah kami pulang dengan saya yang cuti nekad. Kenapa nekad? Karena cuti 2014 saya sisa 0, tapi saya tetap pulang kampung akhir tahun dengan persiapan tanggal 2 Januari mengajukan cuti di aplikasi kepegawaian kantor. Alhamdulillah dikabulkan, yang penting sebelum saya cuti atasan saya tahu kalau saya akan cuti. Beruntung mempunyai atasannya atasan yang fleksibel *ups.

Oke, kembali ke cerita. Kami pulang menggunakan kereta Bima dari stasiun Gambir. Saya sendiri dari kantor, hujan deras. Sementara suami menjemput Rizma ke rumah karena hari itu alhamdulillah ada ST. Meski hujan deras, alhamdulillah kami semua selamat dan bertemu di stasiun. Jadwal kereta 16.20 telat beberapa menit. Alhamdulillah selama perjalanan Rizma ngga rewel, hanya gampang bosen duduk. Alhamdulillah kami punya banyak amunisi (makanan-camilan) serta bekal pensil warna dan buku tulis kesukaan Rizma. Kami pun menikmati perjalanan dengan dinginnya suhu didalam kereta. Sempat saya ngga enak badan, tapi hanya dengan istirahat cukup badan saya kembali segar. 
Sampai stasiun Madiun terlambar sekitar satu jam. Kami dijemput yangti dan yangkung yang udah mengenakan selendang/jarik untuk menggendong cucu kesayangannya. Hihi...
Sampai rumah Rizma senang sekali dan masih penasaran dengan seisi rumah yang jarang ditemuinya itu. Terakhir lima bulan yang lalu. 


Hari pertama, agendanya ke Slahung, rumah buyutnya Rizma. Satu-satunya, alhamdulillah masih sehat meski terkadang pikun. Kebayang umur 80an masih sehat berarti dulu makanannya pasti sehat. 
Pulang dari Slahung kami mampir sate gulai Bhayangkara. Dibungkus aja karena sudah sore, ngga sempet foto juga. Sate gulai Bhayangkara ini juara deh. Sering tutup karena ada pesanan.

Hari kedua, agendanya sarapan sego pecel mbok Rah, sego pecel favorit di kalangan warga Ponorogo. Enak, sehat, dan murah meriah. Cukup enam ribu rupiah udah bisa kenyang. Kemarin saya bungkus dua sambelnya saja untuk dibawa ke Jakarta, eh Bintaro maksudnya. Kalau niat kesini jangan sampai kesiangan karena antrenya lumayan panjang. Sego pecel ini salah satu makanan favorit daerah Ponorogo-Madiun-dan sekitarnya. Usai sarapan, kami mengurus keperluan pindah kependudukan. Iya, KTP kami masih Ponorogo. Saya malah udah pindah dari Tegal ke Ponorogo. Kok ngga langsung ke Tangsel? Entahlah, karena satu dan lain hal saya pindah ke Ponorogo dulu. Sambil menunggu saya dan suami ke kelurahan, Rizma asik main melihat sapi kepunyaan adik yangkung. Ngga lama kami menyusul dan lanjut ke studio foto karena suami belum punya foto dengan background biru. Ah, ingin rasanya saya tulis terpisah tentang pindah kependudukan ini.
Sorenya saya dan suami mengajak Rizma ke alun-alun kota menikmati ramainya suasana pusat kota warga Ponorogo. Kemarin Rizma naik odong2 seharga lima ribu sepuasnya, naik delman, dan pulang naik becak. Ah, maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan? Sungguh begini saja kami sangat berbahagia.

Hari ketiga, agendanya ke Pacitan, ke pemandian air panas dan ke pantai. Namun saya tetiba ngga enak badan. Flu berat sampai untuk beranjak dari tempat tidur saja ngga kuat rasanya. Akhirnya saya terpaksa minum obat dan agenda ke Pacitan pun batal. Saya seharian istirahat dan menjaga asupan makanan-cairan.
Alhamdulillah hari itu badan saya terasa lebih fresh, sore hari saya menyempatkan diri menikmati sate Ponorogo Pak Bagong di Ngepos. Disana saya keringat dingin, tapi saya kuatkan untuk makan dan ngga terlihat sakit di depan Rizma.

Hari keempat, kondisi saya membaik. Kami mengganti agenda ke Pacitan dengan mengunjungi Telaga Ngebel. Awalnya saya ngga tahu lokasi Telaga Ngebel. Diceritakan mama mertua sih deket. Yasudah saya ngga ada persiapan apapun. Soalnya kalau jauh kan saya takut Rizma mabok di jalan. Selama perjalanan Rizma senang, ditengah perjalanan, ternyata medan mulai menanjak, menurun, tikungan tajam, begitu seterusnya. Saya sendiri pusing, mungkin sisa sakit hari sebelumnya. Rizma gimana? Mabok, benar dugaan saya, saya aja pusing apalagi Rizma.
Kurang lebih satu jam perjalanan tanpa macet pastinya, kami sampai di Telaga Ngebel. Sebuah telaga di kaki gunung Wilis. Mabok dan pusing terbayar dengan indahnya pemandangan setelah melewati jalanan lumayan terjal. Saya sendiri ngga nyangka di atas sana ada telaga nan indah. Mirip seperti Ranu Kumbolo *eh berasa udah kesana aja. Sampai disana kami memesan makan siang dengan menu ikan-ikanan darat dan seafood. 
Sambil menikmati pemandangan, kami menikmati pula bekal buah dari rumah. Pesanan agak lama datangnya, malah keduluan hujan deras yang datang. Awalnya kabut, kemudian mendung, lalu hujan deras. 
Ngga lama pesanan datang, kami menyantapnya bersama. Ada cerita lucu, Rizma kan memang lagi aktif ya, sekejap saja ngga diawasi, tetiba dia menyiram air kobokan (air untuk cuci tangan di mangkok kecil) ke piring makan yangkung. Suasana pun bertambah cair dengan ulah si bocah kecil itu. Alhamdulillah makan siang lancar. Kami melanjutkan agenda pulang ke rumah setelah hujan reda. Rute pulang berbeda dari rute awal, diawali dengan mengelilingi jalan sepanjang sisi telaga. Maka nikmat Tuhan yang manakah yang kamu dustakan? Indah nian ciptaan Alloh. Selama perjalanan pulang alhamdulillah Rizma tidur. Ngga ada acara mabok deh, saya pikir juga rute pulang lebih nyaman dibanding rute saat berangkat tadi.

Hari kelima, Rizma panas tinggi. Sedih rasanya, saya sembuh Rizma sakit. Seperti biasa, kalau Rizma panas saya hanya hometreatment aja. Sanmol jika perlu, mandi air (lebih) hangat, dilanjutkan berendam. Kompres air hangat, perbanyak cairan, dan skin to skin. Tapi ternyata panasnya tak kunjung turun. Akhirnya dengan sangat terpaksa kami membawanya ke dokter anak. Saya masih ngga rela Rizma dibawa kesana hanya karena panas. Saya sangat takut Rizma diresepi obat ngga jelas. Tapi demi berbakti pada orang tua, saya menurut. Benar dugaan saya, sampai sana banyak sekali yang mengantre. Rizma dapat antrean nomor 17. Tapi ngga lama dipanggil (saya menunggu di taman depan tempat praktek dokter). Saya heran antrwan panjang kok cepet, ternyata ibu-ibu yang menggendong anaknya mengantre obat. Sedih! Rizma diperiksa, ngga mau tiduran, tul tul tul. Tulis resep. Selesai! Dok, anak saya sakit apa? Radang. Ini resep apa aja dok? Tanya di depan ya. Sontak emosi saya terpancing. Ah ini namanya dokter jualan obat. Peiksa mulut aja Rizma nangis, mana bisa terlihat kalau ada radang? Obat ngga ditebus. Saya hanya meminta apoteker menulis ulang resep dokter dengan tulisan lebih jelas. Sampai rumah ditanya obatnya apa? Kami jawab aja Sanmol. Tapi sayang sekali, sanmol belum berhasil membuat Rizma baikan. Dia terlihat lemas dan suhunya terus tinggi  Malam pun begadang bergantian mengompres badan Rizma. Singkat cerita, paginya obat ditebus dan Rizma minum puyer sekali karena sorenya akan menempuh perjalanan kurang lebih 10 jam. Alhamdulillah menjelang siang Rizma kembali ceria, makan sedikit-sedikit mau. Tanpa sepengetahuan mertua saya ngga memberikan puyer untuk kedua kalinya. Maaf ya pah, mah. Hehehe....

Alhamdulillah sampai sore pun Rizma sehat. Sebelum pulang, kami diuji Alloh, ada kabar dari pengasuh Rizma yang saat itu pulang kampung juga, dia akan melanjutkan sekolah di pesantren karena ada yang membiayai. Mau gimana? Saya hanya bisa mengiyakan, dan meminta bantuan mama mertua untuk ikut. Tiket langsung diburu, alhamdulillah dapat meski beda kereta. Kami pun pulang dengan hati lega, ditambah ada kabar dari ART tetangga bahwa ada sepupunya yang cari kerja. Tanpa pikir panjang, saya ijinkan untuk kerja dirumah saya mengasuh Rizma.
Antibiotik gimana? Wallohu a'lam. Semoga Rizma sehat terus dan ngga ada kuman yang resistant. 
Perjalanan pulang lancar, selamat, alhamdulillah, bersiap menyambut Jakarta dengan segala hiruk pikuknya.

6 komentar:

  1. Telaganya bagus.
    Wah, Rizma sempat sakit ya?
    Untunglah kalau ga papa, mgkin pengaruh cuaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya. mungkin mbak pipit, mgkn jg krn kecapekan. alhamdulillah sdh sehat

      Hapus
  2. Sambelnya enakya sampai di bukgus dibawa pulang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mak lidya, jd tetep bs ngrasain sensasinya :)

      Hapus

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.