22 Juni 2021

Sungguh Anak adalah Cermin Orang Tuanya

 


Semakin ke sini saya semakin menyadari, bahwa kalau mau melihat diri ini sedang seperti apa keadaannya, lihatlah anak-anak. 

Saat anak-anak kok bicaranya nada tinggi, ternyata sayalah yang dengan tak sadar mengajari mereka lewat nada bicara saya yang tinggi.

Saat anak kok terlihat "berani sama orang tua" atau begitu terasa menjengkelkan, ternyata sayalah yang tanpa disadari tak menghadirkan cinta saat berinteraksi dengan mereka. Iyaaa, ternyata anak-anak bisa membaca kondisi hati kita dan itu sangat berpengaruh dengan respon mereka. Atau paling mungkin, saya sering ngeyel ketika diperintah suami hal sepele hanya karena "nanggung".

Saat anak-anak terlihat bertengkar terus, ternyata bisa jadi saya yang salah fokus, karena kaca mata saya terlalu kotor. Sehingga lupa mendata berapa persen mereka akur dan hanya berapa persen mereka bertengkar.

Saat anak-anak saling sayang, saling senyum dan aaah rasanya rumah itu "surga banget" ternyata saya sadar kalau saya mulai waras, kaca mata saya bersih dan memandang keributan mereka adalah hal yang wajar di antara kakak beradik.

Semakin saya banyak berlatih berinteraksi positif dengan anak-anak, semakin saya rasakan pula interaksi positif antara mereka dan saya. 

Begitu pula segala kebiasaan.

Saya pernah iri melihat OSD yang dalam perjalanan di mobil dengan anak-anaknya, pegangannya Alquran. Terus, anaknya ya otomatis dengerinnya ayat-ayat Quran. Makin familiar dan makin lama hafal. Video di youtube itu membuat saya kagum dan berkaca.

Bukan karena anaknya yang hafal ayat-ayat Quran.

Tapi, apakah yang selama ini jadi "pegangan" saya ketika bersama mereka?
Banyakan abai kah saya selama menjadi orang tua? atau disambi-sambi kah saat berinteraksi dengan mereka? atau malah banyakan megang smartphone saat bersama mereka dan tenggelam bersama?

Saya pun menilik dan membuktikan sendiri.

Bahwa adek Hanum yang hafal surat Al ghosyiyah, itu karena rutin mendengarkan papahnya yang sedang ikut Ngafal Ngefeel.

Juga hafal permulaan ayat-ayat dalam surat Luqman maupun surat lain karena selama ini memang sering mendengarkan ayat-ayat itu dilantunkan.

Bahkan kalau murottal surat Luqman disetel, langsung dia tau "Ini surat Luqman, Bun?"

Bayangkan ketika dia juga ingat nama-nama tokoh robocar poli, tak lain tak bukan karena dia nonton TV bersama kakaknya dan tayangannya itu. Atau mereka berdua suka meniru adegan rainbow rubi dan ingin ke desa pelangi. Karena tontonannya itu.

Bukan salah kakaknya, tapi salahkan orangtuanya ini yang "malas" repot ketika sedang repot. 

Namun, betapa adem ketika mereka melihat saya menangis melihat instagram dan mereka melihat foto sosok ulama sembari bertanya "Itu Habib Umar, Bun?" 

Atau ketika mereka melantunkan sholawatan sampai berlama-lama dengan riang gembira dan kurang familiar dengan lagu-lagu yang biasanya anak-anak hafal.

Atau ketika saya membaca tulisan dan dia menunjuk tulisan Muhammad صل الله عليه وسلم dan bertanya "Itu Nabi Muhammad?" juga bertanya "Ibun baca tafsir?"

Atau ketika dengan antusias dia mengambil Alquran dan mencari dimana surat An Nas, Al ghosiyah dan surat Luqman dan pura-pura membaca padahal krena dia hafal.

Atau ketika ada yang bertanya, Itu Ustadzah Halimah ya? Itu Ustadz Adi Hidayat? Itu Ustadz siapa bun?

Atau ketika mereka antusias melihat-lihat lembaran demi lembaran yang bergambar di buku tebal shiroh Nabi Muhammad kemudian bertanya-tanya ini apa itu apa.

Atau ketika mereka terbiasa membaca 3 qul sebelum tidur? Dzikir Allah bersamaku, melihatku, dekat denganku, dan kebiasaan baik lainnya

Dan juga bagaimana ketika mereka menonton Master Chef lalu kenal dengan Chef Juna dan gerak geriknya.

Atau ketika mereka hafal tampilan shopee dan ikuta-ikutan belanja online.

Atau saat mereka marah dan protes "Ibun nggak mendidik aku, ibun sukanya buka instagram, shopee, bukannya perhatiin anaknya!"

Siapa lagi yang menjadi jalan utama penyebab semua itu kalau bukan orang tuanya? 

Mereka benar-benar seperti bayangan dalam cermin.

Pertanyaannya...

Apakah kita sebagai orang tua sudah berhati-hati dalam menjadi teladan bagi mereka?

Salahkah kita memperkenalkan siapa yang seharusnya jadi idola?

Dan apakah ketika mereka kita nili "bermasalah" sudah kita berkaca pada diri seperti apa yang sudah kita contohkan dan suguhkan selama ini?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.