Suami saya asli orang Ponorogo, itu lho kota yang terkenal dengan reog dan sate ponorogo. Saya sendiri merasakan lezatnya sate ponorogo ya setelah menikah. Sedangkan reog, saya sempat melihat langsung di Jakarta meski hanya sebentar. Di Ponorogo hanya mendengar suaranya saja saat grebeg suro. Karena saat itu hamil dan untuk melihat reog secara dekat harus terjun ke lautan manusia.
Kali ini saya tidak akan menuliskan tentang reog, melainkan tentang lebaran idul fitri di sana. Sebenarnya tidak ada hal yang berbeda. Ketupat, kue lebaran, bersalaman ke sanak saudara dan tetangga, itu semua juga ada di sana. Sama seperti di kampung halaman saya.
Ada satu hal yang sangat membuat saya kagum dengan Ponorogo saat lebaran. Yakni kebiasaan
menyediakan keranjang kosong berukuran kecil di samping toples-toples kue lebaran sebagai tempat sampah. Saya pikir hanya satu rumah yang begitu, ternyata hampir di semua rumah. Bahkan rumah-rumah di perbatasan Ponorogo dan Pacitan pun mempunyai kebiasaan yang sama. Kalau pun tidak menyediakan keranjang kosong, mereka menyediakan tempat sampah kecil di dekat meja tamu. Saya kagum sekali karena kebiasaan ini tidak ada di kampung halaman saya, terutama di daerah sekitar rumah tinggal saya. Sampah-sampah bekas bungkusan kue lebaran hanya dikumpulkan di sekitar toples-toples kue lebaran yang disediakan tuan rumah. Saat tamu pulang, giliran tuan rumah yang membersihkan sampah-sampah tadi.
Hal inilah yang membuat saya selalu rindu dengan Ponorogo. Bersih, dan rapi. Rumah suami saya terletak di pertengahan kota. Tapi saya selalu kagum dengan rumah-rumah di sana. Masih banyak sekali warga yang mempertahankan bentuk rumah aslinya, yang kalau saya bilang bentuknya jadul seperti jaman saya kecil. Karena bentuk asli inilah justru saya melihat mereka sebagai orang yang tidak mudah tergerus jaman. Jadi, meski terletak di tengah kota, saya merasa ada di pedesaan. Tapi jangan salah lho, orang-orang Ponorogo menurut saya kesadaran pendidikannya tinggi. Buktinya setiap kali saya silaturahmi ke saudara-saudara di sana, selalu saja pembicaraannya tidak jauh dari anak mereka yang melanjutkan kuliah di kota-kota besar.
Di Ponorogo juga sangat banyak 'orang tua' yang masih sehat. Orang tua yang saya maksud di sini adalah para lansia (lanjut usia). Dan yang unik, saat lebaran, mereka mempunyai satu kalimat yang sama untuk diucapkan ketika ada yang bersalaman dengan mereka. Misalnya saat saya bersalaman memohon maaf lahir dan batin kepada nenek dari suami saya, kepada sepupu dari nenek suami saya, jawaban mereka sama lho.
"Padha-padha, sing tuwa akeh lupute, sing nom akeh pangapurane, dosaku lan dosamu muga-muga dilebur ing dina bakda iki."
Tentu saja kalimat ini diucapkan dengan logat jawa timuran. Artinya kurang lebih begini: "sama-sama, yang tua banyak salahnya, yang muda banyak maafnya, semoga dosaku dan dosamu dihapus di hari lebaran ini. Jadi, kalau ada puluhan orang yang bersalaman dengan mereka, maka puluhan kali juga mereka mengucapkan kalimat yang sama. Terbayang kan betapa mereka masih sehat sampai tua. Kalau di kampung halaman saya tidak ada yang seperti ini, karena itu saya senang saja mendengar kalimat yang diucapkan ini.
Artikel ini diikutsertakan dalam #GiveAwayLebaran yang disponsori oleh Saqina.com, Mukena Katun Jepang Nanida, Benoa Kreati, Sanderm, Dhofaro, dan Minikinizz
lebaran dimana pasti ada cerita unik ya
BalasHapusSemoga kebiasaan positif ini terus bertahan ya untuk ke anak cucu
BalasHapusSalam kenal ya, Bunda Rizma :)
Oya, sekalian mau info, masih ada kesempatan ikutan #GiveAwayLebaran dgn total hadiah hingga 3 juta! Cek info disini yaa: http://heydeerahma.com/index.php/2015/07/13/kontes-blog-giveaway-lebaran-bersama-heydeerahma
Ajak teman-teman lainnya ya Bun untuk meramaikan ;)
-Dee-
wahhh seru bun ceritanya, semoga beruntung dng giveawaynya yaaa..
BalasHapus@dee: giveaway paket jalan2 ke Malang kapan? hihii *ngarep*