18 Juni 2012

cilok

-->
Oyin, Sampe sekarang? Aku udah ngapain aja? Wew...
Gak ada bakat istimewa kayaknya, The simple elok kalo kata Naya. Ahahaha...
Aku itu anak dari seorang pak guru SD dan seorang pedagang cilok (produsen kali ya tepatnya). Jadi, dari kecil itu, waktu saya adalah kebanyakan bersama cilok. Ya ya ya... dari kecil, dari lahir kayaknya udah jualan cilok tuh ibuku. Makanya namanya elok ;p
Cilok sendiri adalah jajanan ndeso (karena aku tinggal di desa) yang terbuat dari adonan tepung kanji dicampur terigu berikut bumbu2nya yang kemudian dilumuri bumbu atau sambel. Kalau yang ibuku buat itu sambelnya dari kacang, asli! Dan tanpa saos. Makanya khas, enak sekali. Ah, jadi kangen.
Cilok itu dibuat sepanjang hari, eh enggak dink. Prosesnya gini, kalau sore hari, eh dari jam dua siang dink sampai kadang hampir maghrib itu cilok dibuat. Bermacam-macam bentuknya, ada yang bentuk tabung (kurang lebih diameter 2cm dan tinggi 1cm) dan ada yang berbentuk bulat dengan telur didalamnya. Untuk yang berbentuk tabung, ada dua ukuran, kecil dan besar, untuk yang kecil ukurannya kira2 diameter 1cm dan tinggi 0,5cm. Keduanya dibentuk dari adonan panjang yang kemudian dibentuk seperti tabung
panjaaang (sekali) melalui mesin pembentuk (sampai sekarang mesin itu belum ada namanya). Kemudian dirajang sesuai ukuran. Sebenarnya prosesnya gampang, hanya saja kuantitasnya yang banyak (sekitar 20an kg tepung kanji, saking larisnya, alhamdulillah) sehingga memakan waktu dan tenaga yang banyak untuk membuatnya. Inilah yang kadang membuatku sedih, karena waktu untuk main berkurang. Namanya juga anak kecil. U,U
Nanti habis maghrib itu dibuatlah bumbunya alias sambel cilok. Ini nih yang khas, makanya volume penjualannnya tinggi. Gak ada yang  nyamain, kalo bahasa Tegalnya Laka-laka. Hahaha... habis itu, sampai tengah malem cilok yang sudah matang itu diproses, ada yang dibungkus dengan plastik (ini untuk yang bentuk tabung, ukuran kecil), ada juga yang ditusuk dengan biting (bhs Indonesianya lidi, tapi yang bersih lho yah) sebelum kemudian dibungkus 10-10 dengan plastik -> untuk yang berbentuk tabung, ukuran besar. Kalau yang bentuk bulat, ada yang ditusuk dan ada yang dibungkus dengan plastik. Waktu itu sih kebanyakan di bungkus plastik. Nah setelah itu, untuk memudahkan proses menuangkan sambal kesalam plastik, setiap dari bungkusan cilok ditata rapi sehingga tidak kemana-mana sambelnya saat dituangkan kedalam plastik. Proses ini berlangsung sampai dengan kira-kira pukul 23.00 atau terkadang sampai pukul 00.00, huhuhu... aku jarang belajar, kecuali kalau ada PR atau mau ujian. Alhamdulillah nilaiku tak jelek-jelek banget. Sering dapet nilai 100 malah, hehehe... kalau kata Mas Aan: berkahe ngrewangi wong tua. Karena aku dan dia hampir sama, sering ranking 1, Alhamdulillah...
Pagi harinya, setelah sholat shubuh (biasanya aku susah sekali dibangunin, kan malamnya begadang, bu. Apalagi kalau pagi itu jadwalku ke jamban, ah ditambah lagi deh alesan yang membuat ibuku marah, hiks... maaf, tapi ini faktor alam, bu), cilok yang sudah tertata rapi dalam plastik, dibumbui dengan bumbu yang sebelumnya sudah dimasak lagi (berati dua kali masak). Kemudian setelah selesai, cilok yang siap dibawa kepasar, dihitung terlebih dahulu untuk masing-masing bakul (bakul itu semacam penjual yang mengambil dagangan dari orang lain/sistem konsinyasi). Setelah dihitung, tugasku selanjutnya adalah membawanya kepasar, tentunya sebelum berangkat ke sekolah. Ada yang dibawa dengan baskom (waktu itu baskomnya dipanggul, berat gak tuh?) dan ada juga yang hanya diwadahi dengan kantong kresek atau tas rajut. Kadang kalau kesiangan, saat mengantar kepasar aku berpapasan dengan temanku yang sudah berpakaian rapi untuk kesekolah. Rasanya pengin nangis sekali saat tau masih ada beberapa dagangan lagi yang belum kubawa kepasar. Hiks2...
Ah sudahlah, itu masa kecilku. Sampai SMA pun aku masih seperti yang dulu. Karena ibuku masih sama berjualannya. Malah waktu SMP dan SMA saya sering sangu dari hasil jualan cilok kepada teman-teman saya. Kadang lebihnya masih bisa kutabung. Tapi aku sempet bosen. Kenapa? Karena aku jadi jarang main, tidak seperti teman-temanku yang bebas kemana-mana. Dan juga jadi tidak bisa ikut kegiatan ekstrakurikuler disekolah. Dan tak pernah ikut les atau bimbingan belajar seperti temanku yang lain. Ya Alloh, maaf kalau waktu itu aku egois. Saat itu ingin rasanya aku jadi anak orang kaya saja yang bebas kemana-mana dan bisa ikut berbagai macam kegiatan. Untuk beli sesuatu yang aku inginkan pun, aku menabung sendiri, dari sisa uang jajan, atau dari hasil jualan, untuk bisa membeli baju misalnya. Kenapa? Karena hasil jualannya hanya cukup untuk hidup sehari-hari, makanya kami hidup sangat sederhana. Wah, begitulah... tapi dari sini sebenarnya aku sangat banyak belajar, tentang kerja keras, tantang hemat, tentang ikhlas, berbakti, dan sabar.
Semua pikiranku saat itu mungkin sangat tidak dewasa, ingin segera pergi dari rumah. Misalnya dengan kuliah di luar kota. Daaaan... saat aku beneran kuliah, ternyata aku sangat merindukan saat-saat itu. Saat-saat membantu ibuku membuat cilok sampai dengan cilok itu siap dipasarkan dan dicetak menjadi uang. Wah, memang benar-benar hebat sekali ibuku, walau Beliau tak memanjakan anak-anaknya, tapi inilah cara beliau sayang kepada kami, mengajarkan kami banyak hal. Dan jika kami merasa lelah, ternyata beliau juga lebih lelah dari kami, hiks2... aduh jadi nangis gini inget Beliau. Gimana enggak? Kalau kami sudah ngantuk, kami tidur dengan dagangan belum beres, dan beliau yang menyelesaikannya, meski sambil ngantuk sekalipun.
Ah sudah tak kuat cerita lagi, lain waktu insya Alloh... :)


2 komentar:

  1. heeiii aku mau dong sekali2 dibawain ciloknyaaa!!

    BalasHapus
  2. masa lalu itu. sekarang sudah gak jualan lagi. ganti dagangan.

    BalasHapus

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.