Disclaimer: Tulisan ini adalah artikel untuk majalah Jawara, Jakbar.
"Saya jadi nggak enak mau narikin iuran sampah, tong sampahnya sering kosong. Dikemanakan sih sampahnya?"
Kurang lebih seperti itu pernyataan Bapak petugas kebersihan di lingkungan rumah kami.
Di saat pandemi seperti ini, semakin banyak sampah rumah tangga yang dihasilkan seiring dengan meningkatnya penggunaan benda-benda sekali pakai yang dibuang ke tempat sampah dan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sebagai gunungan sampah.
Sebenarnya, bukan salah benda-benda sekali pakai itu.
Lalu salah siapa?
Mari kita merenung kembali.
Jikalau kita tidak mau berubah dengan cara kita menghasilkan sampah, maka jangan kaget dengan susulan berita longsornya TPA seperti yang terjadi pada TPA Cipeucang akhir bulan lalu.
-Longsornya TPA Cipeucang-
Apakah harus menunggu berita sejenis untuk berubah?
Apa yang perlu diubah? Lha wong saya sudah membuang sampah pada tempatnya, kok.
Betul.
Tapi, cobalah sejenak memikirkan kemana alur sampah dari tempat sampah rumah yang diangkut oleh petugas kebersihan.
Dan coba bayangkan jika para petugas kebersihan ini juga Work from Home seperti kita.
Sudah siapkah kita dengan tumpukan sampah yang tak kunjung diambil petugas kebersihan setiap hari?
Sudah siapkah kita untuk mengelola sampah sendiri dari rumah?
5 Juni 2020 lalu banyak sekali yang memperingati hari Lingkungan hidup sedunia. Saya tidak tahu, apakah peringatan ini sekadar mengingat hari atau melakukan sesuatu yang berkesinambungan untuk lingkungan.
Mari tengok kembali, lingkungan terkecil yang ada dalam genggaman kita.
Lingkungan rumah sendiri.
Ya, rumah sendiri, tak perlu menengok ke rumah tetangga.
Apakah lingkungan rumah kita sudah menerapkan konsep peduli lingkungan?
Konsep peduli lingkungan yang saya maksud disini adalah bahwa lingkungan rumah kita sudah ramah terhadap bumi, tempat rumah kita berdiri tegak. Bukan rumah yang rajin mengirimkan sampah untuk meninggikan gunungan sampah di TPA.
Beberapa berita tentang tutupnya TPA di beberapa daerah dan berita menyedihkan tentang korban jiwa karena longsornya TPA, seharusnya sudah cukup bagi kita untuk berubah dari sekarang, dari diri sendiri, dan dari lingkungan terkecil yang ada digenggaman kita yaitu rumah kita.
Jika hal itu kita lakukan, bukan hal mustahil perugas kebersihan di lingkungan rumah kita berat hati menagih iuran sampah karena temoat sampahnya tak lagi berisi sampah. Kosong.
Bagaimana bisa?
Bisa.
Saya akan bocorkan apa yang saya lakukan sehingga tempat sampah di rumah saya sering kali kosong.
Pertama, saya berusaha mencegah terjadinya sampah dengan menggunakan benda-benda yang dapat dipakai berulang kali.
Di masa pandemi ini misalnya, saya memilih menggunakan masker kain dari pada masker sekali pakai yang sebetulnya lebih dibutuhkan oleh tenaga medis. Saya juga mengganti tisu dengan lap kain dan handuk kecil yang dapat dicuci. Ya, di rumah saya, sudah lama sekali tidak ada tisu dan terbukti keluarga saya tidak lagi mencari tisu sampai sekarang.
Rantang, botol, dan wadah reusable merupakan sahabat kami. Kami selalu membawa wadah ketika akan berbelanja diluar rumah.
Intinya, sebisa mungkin cegah sampah sebelum terjadi. Bisa? Pasti bisa. Sudah banyak kok yang membuktikan.
Kedua, memilah sampah yang terlanjur dihasilkan.
Work from home bagi saya, artinya work from home juga bagi catering langganan saya. Saya memasak sendiri untuk keluarga. Yang artinya, sampah sisa dapur menjadi semakin banyak. Saat berbelanja bahan makanan, mau tidak mau juga ada sampah plastik yang dibawa pulang meski sudah membawa wadah dari rumah.
Apalagi, di saat pandemi seperti ini berbelanja online adalah salah satu pilihan yang banyak diambil oleh masyarakat termasuk saya. Bungkus belanjaan dari berbelanja online pastilah menghasilkan sampah.
Dari semua jenis sampah yang saya hasilkan, tidak serta merta saya masukkan ke dalam satu tempat sampah.
Saya membagi tempat sampah di rumah menjadi lima yaitu tempat sampah organik menggunakan toples dengan tutup; tempat sampah kertas; tempat sampah plastik kering; dan tempat sampah botol yang ketiganya saya buat dari kardus bekas, serta tempat sampah untuk sampah yang tidak bisa didaur ulang.
Tempat sampah terakhir inilah tempat calon sampah yang akan diambil oleh petugas kebersihan.
Saya juga membuat ecobricks, khusus untuk sampah plastik yang sulit didaur ulang seperti lakban bekas bungkusan belanjaan online.
-gambar ecobricks-
Dari sampah-sampah yang terlanjur dihasilkan dari cerita saya diatas, saya buang di tempat sampah sesuai jenisnya. Sehingga tempat sampah terakhir sering sekali kosong karena saya telah mencegahnya pada langkah pertama dan memilahnya pada langkah kedua.
Lalu bagaimana kelanjutan sampah pada tempat sampah pertama hingga keempat?
Langkah ketiga, olah sampah.
Sampah sisa dapur, saya komposkan. Saya menggunakan komposter pot, ember, dan komposter drum biru. Sebenarnya, jika ada tanah kosong lebih mudah membuat Lubang Resapan Biopori (LRB) di dalam tanah karena tidak perlu diaduk seperti komposter pot dan ember. Tinggal dibuang sisa dapur ke dalam lubang.
Komposter ini, memang butuh belajar juga. Belajar tentang langkah-langkah mengompos, tentang karakter masing-masing komposter, belajar bersahabat dengan hewan-hewan pengurai sampah organik, belajar problem solving saat ada ketidakseimbangan komposisi sampah, dan belajar sabar menunggu panen kompos sampai siap digunakan untuk berkebun di rumah.
Sampah anorganik pada tempat sampah kedua sampai keempat, saya kirimkan ke salah satu perusahaan pengolah sampah anorganik yaitu PT Armada Kemasan Nusantara. Karena di masa pandemi ini, bank sampah di lingkungan saya tidak beroperasi sehingga saya memilih untuk mengirim sampah dalam keadaan kering dengan menggunakan ekspedisi.
Kabar baiknya, PT Armada Kemasan Nusantara sekarang membuka layanan jemput sampah anorganik. Jadi, bila tidak mau repot packing sampah bisa menggunakan layanan jemput sampah ini.
Dengan menerapkan ketiga langkah ini, saya bisa tetap menyetorkan iuran sampah dengan niat lain. Bukan dengan niat menitipkan sampah untuk dipindahkan ke TPA.
Jika kita semua berani memilih langkah perubahan ini, bukan hal tak mungkin petugas kebersihan heran dengan tempat sampah kita yang sering kali kosong. Juga bukan hal yang mustahil tak ada lagi berita tentang longsornya TPA atau tutupnya TPA karena overload.
Karena, membuang sampah pada tempatnya kini tak lagi cukup. Mari cegah, pilah, dan olah sampah kita.
_________
Instagram pengolah sampah anorganik
@waste4change
@armadakemasan
@bebersIndonesia
____________________
ditulis oleh Elok Mahmudah
11 Juni 2020
Pondok Ranji, Tangerang Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.