03 April 2018

Home Education Berbasis Fitrah

Membersamai Bangkitnya Fitrah Orangtua




Materi Pokok 1



Apa dan Bagaimana Home Education berbasis Fitrah _(Akhlaq dan Potensi)



SME (Subject Matter Expert): Ust. Harry Santosa & Ibu Septi Peni Wulandani



Bagian 1 


Home Education (Pendidikan berbasis Rumah)


Peradaban sesungguhnya berawal dari sebuah rumah, dari sebuah keluarga. Home Education (HE) itu sifat wajib bagi kita yang berperan sebagai penjaga amanah. Karena sesungguhnya HE itu adalah kemampuan alami dan kewajiban syar’i yang harus dimiliki oleh setiap orang tua yang dipercaya menjaga amanahNya.


Jadi tidak ada yang “LUAR BIASA” yang akan kita kerjakan di HE. Kita hanya akan melakukan yang “SEMESTINYA” orang tua lakukan. Maka syarat pertama “dilarang minder” ketika pilihan anda berbeda dengan yang lain. Karena kita sedang menjalankan “misi hidup” dari sang Maha Guru.



Home Education dimulai dari proses seleksi ayah/ibu yang tepat untuk anak-anak kita, karena hak anak pertama adalah mendapatkan ayah dan ibu yg baik. Setelah itu dilanjutkan dari proses terjadinya anak-anak, di dalam rahim, sampai dia lahir. Tahap berikutnya dari usia 0-6 tahun, usia 7-10 tahun, 11-14 tahun dan usia 15 tahun ke atas kita sudah mempunyai anak yg aqil baligh secara bersamaan.



Home Education sebagai orang tua dan anak nyaris selesai di usia 14 tahun ke atas. Orang tua berubah fungsi menjadi coach anak dan mengantar anak menjadi dewasa, delivery method HE pun sudah jauh berbeda.



Kita dipercaya sebagai penjaga amanahNya, SEMESTINYA kita menjaganya dengan ilmu. Jadi orang tua yang belajar khusus untuk mendidik anaknya seharusnya hal BIASA, tapi sekarang menjadi hal yang LUAR BIASA karena tidak banyak orang tua yg melakukannya.



Hal-hal yang SEMESTINYA orang tua lakukan :

◈    Mendidik
◈    Mendengarkan
◈    Menyanyangi
◈    Melayani (pd usia 0-6 thn)
◈    Memberi rasa aman&nyaman
◈    Menjaga dari hal-hal yg merusak jiwa dan fisiknya
◈    Memberi contoh dan keteladanan
◈    Bermain
◈    Berkomunikasi dengan baik sesuai usia anak


Bagian 2


“OUTSIDE IN“ vs “INSIDE OUT”


Tugas mendidik bukan menjejali “OUTSIDE IN“, tetapi “INSIDE OUT” yaitu menemani anak-anak menggali dan menemukan fitrah-fitah baik itu sehingga mereka menjadi manusia seutuhnya (insan kamil) tepat ketika mencapai usia aqil baligh. Satu-satunya lembaga yang tahu betul anak-anak kita, mampu telaten dan penuh cinta hanyalah rumah dimana amanah mendidik adalah peran utama ayah bundanya.




Anak lahir ke muka bumi membawa fitrahnya, sehingga perlu pendidikan yang mengeluarkan fitrah anak tersebut:



✅ Fitrah Kesucian. 

Inilah yang menjelaskan mengapa tiap manusia mengenal dan mengakui adanya Tuhan, memerlukan Tuhan, sehingga manusia memiliki sifat mencintai kebenaran, keadilan, kesucian, malu terhadap dosa.

✅ Fitrah Belajar. 
Tidak satupun manusia yang tidak menyukai belajar, kecuali salah ajar. Khalifah di muka bumi tentunya seorang pembelajar tangguh sejati.

✅ Fitrah Bakat. 
Ini terkait misi penciptaan spesifik atau peran spesifik khilafah atau peradaban, sehingga setiap anak yang lahir ke muka bumi pasti memiliki bakat yang berbeda-beda.

✅ Fitrah Perkembangan. 
Setiap manusia memiliki tahapan perkembangan hidup yang spesifik dan memerlukan pendidikan yang sesuai dengan tahapannya, karena perkembangan fisik dan psikologis anak bertahap mengikuti pertambahan usianya. Misalnya, Allah tidak memerintah ajarkan shalat sejak dini, tetapi ajarkan shalat jika mencapai usia 7 tahun. Pembiasaan boleh dilakukan tapi tetap harus didorong oleh dorongan penghayatan aqidah berupa cinta kepada Allah dari dalam diri anak-anak.


Pendidikan Berbasis Shiroh



Kita perlu mengkaji lebih dalam pendidikan yang dialami oleh Rasulullah dari lahir sampai dewasa, sebagai contoh pendidikan untuk anak-anak nanti. PENDIDIKAN dan PERSEKOLAHAN adalah hal yang berbeda. Bukan sekolah atau tidak sekolah yang ditekankan, tetapi bagaimana pendidikan yang sesuai dengan fitrah anak sehingga potensi alamiah anak dapat dikembangkan, karena setiap anak memiliki potensi yang merupakan panggilan hidupnya.



Pendidikan Berbasis Potensi &Akhlak



Yang dimaksud adalah yang terkait dengan performance. Dimulai dengan mengenal sifat bawaan atau istilah Abah Rama dengan Personality Productive yang kemudian menjadi aktivitas dan performance, lalu menjadi karir dan peran peradaban yang merupakan panggilan, akhirnya menentukan destiny. Jadi pengembangan potensi berkaitan dengan performansi, namun performansi memerlukan nilai-nilai yang disebut sebagai akhlak dan moral karakter. 



Dalam mengembangkan bakatnya, anak-anak perlu diingatkan dan diteladankan dengan nilai-nilai dalam keyakinannya (Al Islam) agar perannya bermanfaat dan rahmat atau menjadi akhlak mulia. ”Setiap keluarga memiliki kemerdekaan untuk menentukan dan mengejar mimpinya , termasuk dalam hal pendidikan.”



Bagian 3


Tazkiyatunnafs


Secara sederhana dimaknai sebagai pensucian jiwa, membersihkan hati dengan banyak mendekat, memohon ampun, menjaga serta berhati-hati dari hal-hal yang syubhat apalagi haram atau waro’ kepada Allah dengan harapan keridhaan Allah SWT agar ditambah hidayah sehingga fitrah nurani memancar dalam akhlak dan sikap serta kesadaran yang tinggi atas peran (tauiyatul a’la). Pendidikan anak atau generasi memerlukan ini sebagai pondasi awal. Selanjutnya adalah masalah teknis.



Umumnya kecemasan, obsesif, banyak menuntut atau banyak memaksa atau sebaliknya, tidak konsisten (dalam arti sesuai fitrah anak, bukan obsesi orang tua), tidak percaya diri mendidik anak, muncul karena kurangnya tazkiyatunnafs para orang tuanya sehingga mudah terpengaruh oleh “tuntutan atau perlakuan” yang tidak sesuai atau menciderai fitrah. 



Tujuan tazkiyatunnafs orang tua, adalah agar kita kembali kepada kesadaran fitrah kita dengan memahami konsep pendidikan sejati sesuai fitrah.

Ketika orang tua menginginkan anaknya shalih maka orang tua harus memahami konsep kesejatian/fitrah anak dan makna keshalihan sesungguhnya. Shalih adalah amal, bukan status.
Pesan Bunda Septi,  “Untuk itu siapkan diri, kuatkan mental, bersihkan segala emosi dan dendam pribadi, untuk menerima SK dari yang Maha Memberi Amanah. Jangan pernah ragukan DIA. Jaga amanah dengan sungguh-sungguh, dunia Allah yang atur, dan nikmati perjalanan anda.”


Bagian 4


Metode dan Cara


Sudah tidak diragukan lagi bahwa mendidik (bukan mengajarkan) Aqidah sejak usia dini, adalah hal yang mutlak. Aqidah yg kokoh akan amat menentukan pilihan pilihan serta pensikapan pensikapan yang benar dan baik dalam kehidupan anak anak kita kelak ketika dewasa. Lalu bagaimana metode dan caranya?



Menurut yang saya pahami secara sederhana, bahwa pertama, setiap pendidik atau orangtua perlu menyadari bahwa sesungguhnya setiap anak manusia yang lahir sudah dalam keadaan memiliki fitrah aqidah atau keimanan kepada Allah Swt. Setiap manusia pernah bersaksi akan keberadaan Allah swt, sebelum mereka lahir ke dunia. Maka tidak pernah ditemui di permukaan bumi manapun, bangsa bangsa yang tidak memiliki Tuhan, yaitu Zat Yang Maha Hebat tempat menyerahkan dan menyandarkan semua masalah dalam kehidupan.



Dengan demikian maka, yang kedua adalah bahwa tugas mendidik adalah membangkitkan kembali fitrah keimanan ini, namun bukan dengan doktrin atau penjejalan pengetahuan tentang keimanan, namun dengan menumbuhkan (yarubbu/inside out) kesadaran keimanan melalui imaji-imaji positif tentang Allah swt, tentang ciptaanNya yang ada pada dirinya dan ciptaanNya yang ada di alam semesta.



Dengan begitu maka, yang ketiga adalah dengan metode untuk sebanyak mungkin belajar melalui hikmah-hikmah yang ada di alam, hikmah yang ada pada peristiwa sehari-sehari, hikmah pada sejarah, hikmah hikmah pada keteladanan dan seterusnya.



1⃣Menjadi penting membacakan kisah kisah keteladanan orang orang besar yang memiliki akhlak mulia sepanjang sejarah, baik yang ada dalam Kitab Suci maupun Hadits maupun yang ditulis oleh orang orang sholeh sesudahnya.


2⃣ Menjadi penting senantiasa merelasikan peristiwa sehari sehari dengan menggali hikmah hikmah yang baik dan inspiratif.

3⃣ Menjadi penting untuk senantiasa belajar dengan beraktifitas fisik di alam dengan, meraba, merasa, mencium aroma, mengalami langsung dstnya.

4⃣ Metode berikutnya, tentu saja kisah kisah penuh hikmah itu perlu disampaikan dengan tutur bahasa yang baik, mulia dan indah bahkan sastra yang tinggi. Menjadi penting bahwa tiap anak perlu mendalami bahasa Ibunya dan bahasa Kitab Sucinya. Bukan mampu meniru ucapan, membaca tulisan dan menulis tanpa makna, namun yang terpenting adalah mampu mengekspresikan gagasan gagasan dalam jiwanya secara fasih, lugas dan indah, sensitif terhadap makna kiasan kiasan dalam bahasa sastra yang tinggi. 


Para Sahabat Nabi SAW yg dikenal tegas namun memiliki empati dan sensitifitas yang baik serta visioner umumnya sangat menggemari sastra.



Semua metode itu, kembali lagi, adalah bertujuan untuk membangun kesadaran keimanan melalui imaji imaji positif lewat kisah yang mengisnpirasi, melalui kegairahan yang berangkat dari keteladanan, pemaknaan yang baik melalui bahasa ibu yang sempurna dstnya.



Imaji negatif akan melahirkan luka persepsi dan luka itu akan membuat pensikapan yg buruk ketika anak kita kelak dewasa.



Penutup


Sampai sini kita menyadari bahwa peran orangtua sebagai pendidik yang penuh cinta serta telaten maupun sebagai sosok yang diteladani dan menginspirasi tidak dapat digantikan oleh siapapun, apalagi dalam membangkitkan kesadaran keimanan anak anaknya. Maka penting bagi para pendidik untuk melakukan pensucian jiwa (tazkiyatunnafs) sebelum memulai mendidik dengan kitab dan hikmah. 


Bukankah orangtua lah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat, bukan yang lain?




"Salam Pendidikan Peradaban"

#pendidikanberbasispotensiakhlak

----------------------------
♻ Disusun oleh: Tim Pengurus Pusat HEbAT Community

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.