09 Agustus 2020

COVID-19 DAN KEKUASAAN

4 Agustus 2020

Sudah sepekan ini kondisi kesehatan saya tak menentu. Sakit kepala yang berulang hampir setiap dua hari sekali dan flu yang timbul tenggelam, hingga lebaran haji pun lebih banyak saya habiskan di dalam kamar tidur.

Memang hampir sebulan sekali kepala saya sakit dan flu menyerang bila tubuh kedinginan. Namun kali ini kok berulang sakit kepalanya, sampai-sampai saya tidak pergi ke kantor selama satu pekan.

Kemudian, hari ini juga datang kabar bahwa ada rekan kantor yang dikonfirmasi positif COVID-19.

Deg!

Setelah tahu namanya, saya menelusuri ke belakang. Saya memang pernah berinteraksi dengannya meski hanya berpapasan dan sekadar senyum saat bergantian sholat. Kepadanya saya hanya bisa mendukung sejauh yang saya bisa.

Perasaan tak menentu pun mulai muncul sampai pikiran saya menjadi sulit dikendalikan.

Aaaargh...

6 Agustus 2020

Kantor tempat saya bekerja mengadakan rapid test setelah satu hari ditutup untuk penyemprotan disinfektan. Saya memutuskan untuk tes mandiri agar tak perlu pergi ke kantor. Karena kondisi sedang tidak sehat, hasil tes saya pun menunjukkan reaktif, meski belum tentu positif juga.

Selamalaman saya tidak bisa tidur, apalagi setelah diputuskan karantina mandiri di kamar yang berbeda dengan suami dan anak-anak. Pikiran melayang ke segala kemungkinan. Dzikir pun ternyata hanya mampu di lisan saja, hatinya belum bisa tenang. Saya mencoba menerapkan mindful life dan memilih selftalk yang memberdayakan namun tetap saja tak berhasil. Hati saya tetap gundah.

Mungkin dìatas pukul satu dini hari saya baru terlelap.

Ya Alloh...

Saat itu saya berpikir...

Kalau harus berlanjut karantina mandiri, nanti bagaimana dengan anak-anak dan suami?
Apakah ART masih mau datang ke rumah saya untuk membantu menjaga anak-anak?
Apa nanti respon tetangga?
Apakah nanti anak-anak tetap diterima main di depan rumah para tetangga?
Kalau nanti sembuh, apakah saya masih diterima seperti sebelumnya?

bahkan sampai terpikir bila ternyata Dia akan memanggil saya lewat jalan ini,

Apa yang belum saya tuliskan dalam wasiat kepada keluarga saya?
Apa uang saya masih banyak di rekening saya dan belum habis di jalan Alloh saat nyawa dicabut nanti?
Siapa kerabat yang belum saya senangkan hatinya?
Apa yang bisa saya lakukan sekarang jika usia saya tersisa paling banyak 14 hari lagi?

Ah, ternyata begini rasanya membayangkan usia tak lagi lama...

Esoknya, setelah melaporkan hasil tes ke pihak kantor, saya disarankan untuk segera melakukan swab test.

Namun saya enggan karena saya takut dengan proses tes dan hasilnya. Kakak saya yang aktif mengurus pasien covid-19 pun menyarankan untuk karantina mandiri saja selama sepekan sebelum tes ulang, tak perlu swab test.

Pilihan saya hanya dua. Melanjutkan karantina mandiri dengan tetap bergelut dengan ketidakpastian, atau memberanikan diri untuk swab test dan menerima apapun hasilnya.

Hari itu saya memilih yang pertama.

Selama karantina, perasaan saya adakalanya sedih. Bagaimana tidak, di satu atap yang sama saya tak bisa memeluk suami dan anak-anak saya. Saya hanya bisa melihat mereka dari jarak lebih dari satu meter. Berkali-kali saya mendengar tangisan sikecil yang ingin bersama saya seperti biasanya. Saya juga merepotkan banyak orang untuk melayani kebutuhan saya.

Saya hanya bisa menenangkan diri dengan terus mendekat padaNya, yang berkuasa atas segala sesuatu.

Setelah hati, pikiran, dan perasaan bisa tenang, saya pun akhirnya menerima hasil tes yang reaktif, dan berusaha untuk tetap positive thinking diiringi dengan makan teratur dan mengkonsumsi berbagai vitamin.

8 Agustus 2020

Hari ini saya memutuskan untuk memilih pilihan kedua. Memberanikan diri untuk swab test, bagaimana pun rasanya dan apapun hasilnya.

Saya siap.

Alhamdulillah semakin kesini saya semakin bisa mengendalikan pikiran dan menata hati. Dzikir pun tak hanya di lisan saja.

Semalaman saya menunggu hasil namun tak kunjung saya terima juga hingga jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam. Saya pun tertidur.

9 Agustus 2020

Saya terbangun dini hari dan segera membuka email, mencari pesan masuk dari Laboratorium RSPI Bintaro. Ketemu!

Awalnya saya ragu membuka isi pesannya.

Tapi penasaran.

Hingga akhirnya, Bismillah, saya pun membuka isi pesan itu dan melihat tulisan negative dalam test report itu.

Alhamdulillaaah...

Segera saya berkabar dengan keluarga dan saya beranikan diri membuka pintu kamar saya serta masuk ke tempat suami dan anak-anak saya tidur di kamar sebelah.

Suami memandang kaget, dan menunggu saya berucap. Anak-anak juga bingung dan takut saat saya tetiba menciumi mereka hingga terbangun.

Betapa dini hari itu kami amat sangat bersyukur dan memperoleh banyak pelajaran.

Bahwa covid-19 ini adalah tentang kekuasaan-Nya, bukan tentang yang lain.

Meski kita sudah beriktiar semaksimal mungkin agar tidak terpapar virus ini, namun bila Dia sudah berkehendak kita terpapar maka kita pun akan terpapar.

Juga sebaliknya.

Meski ada orang-orang yang tak menerapkan protokol ketat selama pandemi ini, sangat bisa Dia berkehendak orang-orang ini tetap sehat tak terpapar virus covid-19. 

Tapi bukan berarti kita semerta-merta langsung berpindah dari golongan yang menerapkan protokol kesehatan menjadi golongan yang pasrah tanpa ikhtiar. Karena tugas manusia kan berikhtiar dulu baru pasrah.

Iya, Dialah Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu. Karena milik-Nya lah apa yang ada di langit, di bumi, dan diantara keduanya. 


***


1 komentar:

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.