10 Desember 2012

Pulang kampung (2)

Malam pun berlalu, aku memandanganya tidur terlelap seraya mendoakannya agar operasinya lancar.

Besoknya, kami berangkat ke Rumah Sakit setelah sebelumnya mampir Puskesmas untuk mengurus Surat Rujukan Askes. Sambil kami mengantre administrasinya, papah pergi ke Laboratorium untuk mengambil hasil tes darah semalam.

Setelah semua beres, suamiku pun memulai tahapan demi tahapan sampai menjelang operasi berlangsung, mulai dari menempati kamar, diperiksa tensi darahnya, diinfus, dan sebagainya.
Saat itu masih biasa2 saja, kami masih guyon dan ia masih ceria. Hingga tiba saatnya waktu operasi datang, hmmm, ternyata ruang operasinya di lantai 4 dan lift hanya sampai lantai 2 khusus untuk pasien. Hiksss...
Aku disarankan untuk tidak menunggu disana, karena kehamilanku belum meyakinkan mereka kalau aku kuat naik tangga sampai lantai 4. Okeh... Aku menemaninya hingga ia dibawa perawat dengan kursi roda, menyaksikan ia dibawa pergi untuk dioperasi, dan sedih banget tak bisa menemanninya (ya mana boleh ruang operasi dimasuki oleh selain dokter, perawat, dan pasien?)

Selama ia dioperasi, aku dan mamah menunggu diteras ruangan tulip, menggelar tikar, memakan bekal yang kami bawa, bercerita, bersantai menikmati angin sejuk, tanpa mengganggu pasien lain, dan memadangi lalu lalang orang di rumah sakit.Adzan dhuhur tiba, aku dan papah sholat, berdoa agar semua lancar, aku sedih banget sebenernya melihat suamiku terkapar walaupun tadi masih sehat-sehat saja. Aku berdoa agar aku juga kuat seperti mamah yang setia menunggu anak lelakinya. Alhamdulillah aku kuat dan tidak lemas ataupun mengalami keluhan kehamilan seperti biasanya.
Aku tak sabar menanti operasi itu selesai agar aku bisa memeluknya menguatkannya.


Tak lama bulik dan itra pun tiba di rumah sakit, tadinya kami bertiga mau ke ruang operasi, tapi gagal, karena tak boleh memakai lift, hmmm... dan kabarnya operasi tak lama lagi akan selesai. Yasudah, kami beristirahat di gelaran tikar. Bulik membawa kacang hijau untukku, tapi karena aku masih kenyang, niatku sih aku makan nanti kalau lapar, tapi ternyata dilahap mamah sampai habis :D

...
...
Operasi selesai.
Sontak aku keruang rawat suamiku, tapi ia belum sampai disana :(
Tapi tak lama kemudian suamiku sudah dibawa ke ruang rawat dari ruang operasi. Aku segera menengoknya. Aku melihatnya sedang dipindahkan perawat dari ranjang dorong ke ranjang di ruang rawat. Dia tak berdaya, masih tak sadar, banyak perban di tangan kanannya. Melihatnya begitu, aku langsung menangis, tapi aku usap air mataku sebelum ia terjatuh ke pipiku. Sesekali suamiku membuka mata tanpa tenaga dan melihatku, kemudian kembali memejamkan matanya. Tangisku bertambah, tapi aku segera mengusapnya kembali. mamah, papah, bulik dan itra tak ada yang menangis, aku tak mau melihat mereka sedih karena melihatku menangis.
Suamiku setengah sadar, dan segera mengeluarkan kata-kata dari mulut manisnya
"bunda"
"bunda"
"bunda"
Bagaimana tidak? Mendengarnya, aku tambah bersedih namun juga senang karena ia telah sadar, sekaligus bertambah cintaku padanya karena ternyata dalam ketidaksadarannya pun aku yang diingatnya, yang dikhawatirkannya. Aku sadar betapa besar cintanya padaku dan pada calon anak kami.
Papah, We love you too... (panggilan kami bunda dan papah)
Mamah segera mencium suamiku dan suamiku kembali mencariku:
"bunda mana?"
mamah bergeser dan aku segera mendekatinya, mencium dan memeluknya, sambil tetap menahan tangis.
"bunda... bunda udah makan belum? dedek mana? dedek makan apa tadi?"
Sambil minta terus dicium dan dipeluk dengan penuh perasaan (setengah sadar aja masih minta "pake perasaan dong bun" :D oh papah...)
kujawab pertanyaanya, dengan mata berkaca-kaca
"ini bunda, sayang, bunda sama dedek udah makan, udah sholat juga, dedek pinter"
Ia tak mau sedikitpun kutinggalkan. Aku pun menemaninya. Ia tetap mengkhawatirkanku kalau-kalau aku kecapekan. Aku yakinkan ia kalau aku sehat-sehat saja dan tadi telah istirahat selama menungunya dioperasi.
Pucat sekali wajahnya, dan ia katakan bahwa ia sangat haus. Aku bisa merasakannya, tapi apa boleh buat? ia belum diperbolehkan untuk minum. Sabar ya, sayaaang :)
Aku berkali-kali memintanya untuk istirahat saja, tak perlu banyak bertanya atau pun berbicara dulu, karena matanya saja masih belum sepenuhnya terbuka seperti orang sehat.
Tapi ia tetap berusaha untuk memandangku dan menanyakan kesehatanku. Sesekali ia menutup matanya akibat obat bius yang sepertinya masih bekerja.
Adzan ashar pun berkumandang, aku sholat, mendoakannya kembali, dan sambil bebas menangis di masjid. hehehe...


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.