06 November 2022

Kakak Adik Saling Pukul?



Rasanya masih teringat jelas, ketika saya masih kecil dulu. Kejar-kejaran dengan adik saya, biasanya saya yang digerawak dan berujung dia lari ke pangkuan Abah. Tak jarang kalimat agar kakak mengalah ditujukan untuk saya.

Tapi Alhamdulillah setelah dewasa akur damai sejahtera.

Sekarang saya punya dua anak perempuan. Pernahkah bertengkar sampai ada yang terluka? Jawabannya pernah. 

Sampai sekarang juga mereka kadang-kadang masih bertengkar. Namun alhamdulillah jauh lebih adem dibanding beberapa bulan sebelumnya.

Jangan menilai keseharian mereka tidak pernah bertengkar hanya dengan postingan media sosial saya yang posting saat mereka berdua saat sedang akur. 

Apakah persaudaraan yang sehat itu tanpa konflik? Tidak juga. Yang penting bagaimana mereka belajar mengelola konflik dan mencari jalan keluarnya.

Saya akan mencoba berbagi bagaimana saya dan suami melewati masa ketika anak-anak kami bertengkar hingga memukul.

Awalnya, saya yang terlalu fokus menyelesaikan bagaimana agar mereka tidak bertengkar lagi (entah teriak-teriak, berebut, memukul, atau terlihat tidak saling menyayangi). Ternyata hal ini membuat saya rungsing, dan punya selftalk mereka saling benci.

Sedangkan suami saya menjalaninya dengan santai. Ya memang saya yang lebih banyak melihat dan menemani mereka, juga saat bertengkar. Itu alasan saya agar beliau sadar bahwa keadaan seperti itu tidak baik-baik saja.

Lalu saya teringat pelajaran Enlightening Parenting dimana seharusnya saya fokus pada kebaikan dan mencoba chunk down (mencacah) kejadian mereka bertengkar.

Caranya adalah dengan mendata. Jika bertengkar berapa menit? Data dalam 24 jam berapa lama bertengkar, sepekan berapa, dan seterusnya sehingga label generalisasi bahwa mereka selalu bertengkar tidak lagi disematkan.

Rata-rata lebih banyak akurnya dibanding bertengkarnya. 

Setelah itu, saya menyadari bahwa saya harus lebih fokus pada kebaikan-kebaikan mereka. Misalnya saat mereka main bersama, saling berbagi, saling tertawa, menghibur, dan seterusnya saya data dengan buku dan tabel detektif kebaikan. Jadi tugas saya mengamati, mengapresiasi, dan mencatat ketika mereka damai. Kalau kata Abah Ihsan, kita cerewet seharusnya saat anak baik, bukan sebaliknya. Karena bisa mendorong anak untuk mengulang perbuatan baik itu.

Dengan begitu, selftak dan pandangan saya ke anak-anak berubah. Bukan lagi bagaimana ya biar mereka tidak bertengkar? Tapi menyadari bahwa anak-anak saya masih wajar kok interaksinya. Toh diluar sana kakak adik bertengkar juga terjadi. Bahkan ada yang berpendapat kalau tidak bertengkar berati itu tidak wajar, dan saat itulah seharusnya kita lebih banyak mengapresiasi.

Selanjutnya, perbanyak menginstall value manyayangi antar saudara. Mungkin selama ini mereka tidak pernah atau kurang mendapatkannya sehingga mereka tidak tahu menyayangi itu seperti apa. Sementara kami orang tuanya menuntut mereka saling menyayangi. Bukankah terlihat tidak adil?

Tentang menginstall value ini setiap keluarga tentu berbeda caranya. Sebisa mungkin kaitkan dengan kasih sayang Allah dan hadits Nabi Muhammad.

Kalau di Enlightening Parenting, saya diajarkan beberapa hal dalam menginstall value. Diantaranya adalah:

  1. Lakukan saat suasana hati senang (emosi netral). Bukan saat anak berbuat salah atau orang tua sedang emosi.
  2. Do Role Play. Selain memberitahu, anak juga butuh contoh bagaimana cara melakukan apa yang orang tua beritahukan. 
  3. Sedikit namun sering atau berulang. Jangan harap anak mau mendengarkan kita selama setengah jam tentang bagaimana menyayangi kakak/adik.
  4. Selalu apresiasi apa yang sudah anak lakukan, meski itu kecil bagi kita.
  5. Jangan ungkit-ungkit kesalahan mereka di masa lalu. Kita saja tidak suka diungkit kesalahannya, kan?

Langkah setelahnya adalah buat kesepakatan. Setiap keluarga mempunyai rules masing-masing. Jika kami tidak ingin anak saling pukul misalnya, maka kami buat kesepakatan dan konsekuensi bagi anak yang melanggar. Konsekuensi yang sudah disepakati benar-benar kami dijalankan sehingga anak mendapatkan rasa jera dan enggan mengulang kembali kesalahannya.

Ketika anak sudah sangat akur dibanding sebelumnya, sesekali kami memberi mereka kejutan hadiah. Sesekali ya, bukan setiap akur diberi hadiah. Jadi sifatnya sangat objektif, suka-suka kami kapan memberi hadiah. 

Kami juga sering mengajak mereka recall memori ketika mereka masih kecil. Misalnya dengan menontin video waktu adik masih bayi dan kakak sangat bahagia. Juga foto-foto mereka sejak kecil dan bercerita bagaimana sayangnya kakak kepada adik bahkan saat adik masih dlaam kandungan. Semua itu in sya Allah memberi dampak pada mereka yang fitrahnya masih terjaga. Biasanya setelah momen ini, anak-anak akan lebih sering uyel-uyelan. Mungkin karena teringat masa-masa balita mereka ♥️

Alhamdulillah dengan cara seperti ini, interaksi mereka jauh lebih nyaman dipandang dibanding sebelumnya. La haula wa la quwwata illa billah...

Kalau mau baca postingan Bu Okina tentang dealing sibling rivalry bisa kesini ya.

Sebagai orang tua, saya juga belajar mengatur diri kapan turun tangan untuk membantu mereka mencari jalan keluar (parental coaching) dan kapan saya hanya perlu memantau dari jauh. In sya Allah dengan berkonflik, mereka belajar problem solving dan saling mengenal antar saudara.

Bismillah ya semoga Allah mudahkan yang sedang berikhtiar memperbaiki interaksi anak-anaknya. Satu hal yang lebih penting sebelum melakukan semua ikhtiar, jangan lupa memohon pertolongan kepada Sang Pemilik dan Penguasa anak-anak kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.