10 Februari 2020

Berkenalan dengan Metode Pendidikan Waldorf

Photo Credit: Nanda
Bismillah...
Alhamdulillah akhir bulan lalu saya mendapat kesempatan belajar dengan Waldorf Jakarta Study
Group di rumah Palupi, salah satu anggota study group.

Dan rasa penasaran saya terjawab meski hanya secuil ilmu yang saya bawa pulang Ahad itu. 

Tentang Waldorf

Saya nggak akan bercerita tentang apa itu metode Waldorf, sejarah, atau hal-hal yang berkaitan dengan pengertian Metode Pendidikan Waldorf. Saya hanya akan bercerita sudut pandang apa yang saya dapatkan setelah belajar bersama dengan buibu dan pakbapak di study group lalu (sesuai pemahaman saya).


Waldorf, sebelumnya saya salah spelling terus menjadi Wadrof. Kalau ditarik benang merahnya, pembagian usia di metode ini mirip dengan pembagian usia dalam pendidikan islam. Dimana usia anak dibagi per tujuh tahun. Selama diskusi berlangsung, banyak O moment dan Wah moment yang membuat saya makin penasaran. Oh iya, diskusi ini dipimpin oleh Kang Iden dan beberapa kali Nanda memberikan tambahan pelajaran atas pengalaman yang diperolehnya selama menjalani metode Waldorf di salah satu sekolah Waldorf Bandung.

Tujuh Tahun Pertama (0-7 tahun)

Pada masa ini, anak-anak sedang membangun "willing" dan merupakan masa kelahiran fisiknya. Sedangkan orang tuanya bekerja dengan eteryc body (ada kelas khusus kalau mau tahu lebih dalam tentang ini). Seharusnya, disini orang tua nggak banyak melarang anak. Tapi, hanya mengarahkan agar anak-anak dapat membentuk "willing" ini dengan tetap aman dan mereka mempunyai keyakinan bahwa "Dunia ini aman"

Kunci tahap ini adalah bahwa Guru atau Orang tua merupakan "idola" anak-anak. Karena mereka akan mengimitasi segala hal yang dilihat dan dengar dari sekitarnya.

Disinilah masa membangun ritme dan mengenalkan anak ke berbagai aktivitas harian. Misalnya, anak dilibatkan dalam kegiatan memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan seterusnya, dengan tak melupakan kapan anak berkegiatan di luar rumah.

Karena, ritme ini penting untuk bekal di tahapan usia selanjutnya. Tentang Ritme lebih lengkap bisa dibaca disini.


verse

Tujuh tahun kedua (7 s.d 14 tahun)

Bila di tujuh tahun pertama itu kelahiran fisik, maka di masa ini adalah masanya Feeling. Guru atau orang tua bekerja dengan asral body karena di masa ini masa membangun eteryc body anak.

Sama seperti masa sebelumnya, di masa ini juga bangunlah sesuatu yang INDAH, yang menggambarkan bahwa "The World is Beautiful" melalui ART, nyanyian, story telling, dll. Semua pelajaran dibuat seindah mungkin karena imajinasi anak sedang berkembang. Jadi, orang tua seyogyanya memupuk kemampuan anak dalam berimajinasi agar semakin kuat.

Disini, ada otoritas tertinggi yaitu guru atau orang tua. Anak harus tahu tentang otoritas ini sehingga kelak akan tahu kemana akan mencari bantuan saat membutuhkan.

Kehadiran teknologi perlu dibatasi. Sepakati kapan boleh mengakses dan nggak boleh. Karena 12 sense anak perlu diperhatikan.

Nah, ritme yang dipelajari di tujuh tahun pertama, akan menjadi bangunan ritme yang membuat anak merasa aman dengan apa yang terjadi dalam kehidupan atau kegiatannya. Jadi, dikuatkan rythmical systemnya. Cocok sekali dengan usia 7 tahun dimana perintah sholat mulai ditujukan untuk mereka.

Tujuh Tahun Ketiga (14-21 Tahun)

Di masa ini, thinking sedang berkembang. Guru atau orang tua bekerja dengan I-nya dan imajinasi bertransfromasi menjadi Creative Thinking.

Karena sedang di masa thinking, maka proses yang tepat adalah menghadirkan guru yang bekerja sesuai passionnya. Kalau dikaitkan dengan FBE itu belajar pada "maestro", seperti misalnya anak yang senang dengan masak-memasak maka diberi fasilitas belajar kepada ahlinya yaitu Chef,

Biasanya di masa ini akan banyak kritikus atau pemberontak karena mereka sedang dalam tahap "menurut pikiranku begini, bukan begitu. Titik."

Dari ketiga pembagian umur ini, terlihat bahwa ada masa masing-masing untuk willing, feeling, dan thinking. Ketiganya seharusnya ada dalam keseimbangan, nggak boleh bila thinking over feeling, willing over thinking, dan seterusnya.

Dalam metode Waldorf juga sangat menjunjung tinggi rasa takzim kepada anak-anak, karena hal inilah yang akan menumbuhkan respect (rasa menghargai). Contohnya adalah nggak membahas hal yang memang belum waktunya. Saat ini misalnya kita ingin mengajarkan kepada anak-anak bagaimana menjaga bumi yang keadaannya sudah menyedihkan. Maka, caranya bukanlah dengan memperlihatkn video paus, penyu, dkk yang ditemukan memakan sampah yang dihasilkan manusia. Karena hal ini akan berpengaruh pada keyakinan mereka bahwa dunia ini nggak baik-baik saja.

Terus bagaimana caranya?
Dengan menumbuhkan rasa bagaimana memelihara.

Misalnya dengan mengajak anak bersyukur sebelum makan, menghabiskan makanannya agar nggak mubadzir, membawa wadah saat membeli makanan, mengajak anak dalam kegiatan mengompos, dan berbagai value lain yang senada. Jadi, dengan cara ini akan hadir value kebaikan lewat keseharian yang diharapkan akan tumbuh kesadaran dari sini.

Hal lain yang saya pahami tentang Waldorf ini adalah tentang makna spiritual. Jadi, seperti menghadirkan nilai-nilai islam dalam keseharian, bukan hanya menjejali dengan berbagai pelajaran islam. Semacam ketemu benang merah dengan FBE (Fitrah Based Education).

Alhamdulillah, saya mendapatkan banyak pencerahan dari belajar bersama ini. Mudah-mudahaan ke depan saya bisa dimudahkan dalam berikhtiar menjadi ibu yang lebih baik dalam membersamai anak-anak saya.

Aamiiiin...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.