11 Februari 2020

[Jurnal Ulat-Ulat Pekan 4] Belajar Sustainable Living dengan Keluarga Punggawa Semesta


Bismillah...

Setelah sempat galau beberapa hari lalu, saya kembali menilik mindmap saya. Disana memang
ada penjabaran setitik tentang Hidup Minim Sampah. Dan saya agaknya melupakan bahwa saya bahagia ketika berhasil mengurangi sampah atau mengajak orang lain untuk menyadari tentang kondisi persampahan di Indonesia.

Karena itulah, saya memutuskan untuk bergabung dengan keluarga di Kelas Bunda Cekatan yang membahas tentang Hidup Minim Sampah ini. Ada? Nggak ada! Yang ada malah keluarga yang lebih besar, yaitu keluarga Sustainable Living. Sedangkan minim sampah hanya bagian kecil di dalamnya.

Saya senang karena di keluarga ini anaknha cuma 20an! Berbeda dengan keluarga sebelumnya -Uluwatu- yang berjumlah 400an. Jadi, keluarga ini sangat hangat. Meski berplatform Whatssap group, tapi kemarin alhamdulillah usulan mengadakan link Bank Data Resume Diskusi sudah terealisasi. Saat ini sudah terisi bank datanya. In sya Alloh memudahkan anggota lain yang mungkin baru akan masuk pekan depan dan seterusnya.

Oh iya, pada pekan ini, Bu Septi nggak mendongeng karena ada kendala. Jadi, diskusinya lewat komen di unit FBG. Dari sana saya menemukan ilmu baru, yaitu tentang FOMO.

FOMO, Fear of Missing Out atau kekhawatiran berlebih apabila tertinggal suatu informasi, kata Bu Septi adalah sebuah penyakit. Harus waspada sebelum terkena wabah di kebun apel ini, kebun tempat mahasiswi Bunda Cekatan mencari keluarganya.

Dan saya sadar bahwa mungkin saya pernah terkena FOMO ini. Entah di WAG yang seharusnya sudah saya tinggalkan, atau di sosial media. Fiuhhhh... Mari tarik nafas, fokus lagi mau belajar apa.

Back to topic

Di keluarga punggawa semesta ini terasa hangat selain karena anggotanya sedikit juga karena kita merasa satu frekuensi dan bisa saling berbagi serta menimba ilmu dari anggota lain dengan lebih efisien. Alhamdulillah...

Nah, karena pekan lalu saya baru saya belajar dengan ahlinya yaitu pada salah dua anggota Forum Bank Sampah Tangsel, jadi saya langsung saya sharing di wag. Alhamdulillah meski saya tergolong anak bayik di keluatga itu namun semua anggota keluarga sangat antusias berdiskusi. Berikut resume alur pembuatan Bank Sampah (khususnya Tangsel) yang dibuat oleh Mak Hilda, thank you mak!


Jadi, nggak seperti yang dibayangkan kebanyakan orang bahwa Bank Sampah itu butuh tempat untuk menampung sampah. Semakin banyak anggota, asumsinya semakin banyak sampah anorganik yang disetor dan semakin memenuhi kuota kendaraan pickup dari pengepul. Bayangkan Bank Sampah yang anggotanya 5 orang dengan 30 orang, pastinya kalau hanya 5 orang yanh setor sampah, kendaraan pengepul nggak akan penuh sehingga mereka akan pickup ketika sampah sudah bisa memenuhi kendaraan mereka. Ini artinya, Bank Sampah baru butuh tempat penampungan sampah.

Selain tentang Bank Sampah, saya juga mendapatkan ilmu baru bahwa Sustainable Living itu bukan hanya masalah mencegah sampah dan mengolahnya. Tapi lebih dari itu! Mengompos, kemudian menggunakan komposnya untuk berkebun sendiri, lalu memasak dengan bahan-bahan alami serta dari tanaman yang ditanam sendiri, menggunakan bahan dan makanan alami untuk menjaga kesehatan, dan seterusnya. Panjang prosesnya.

Dari sini saya menyadari bahwa saya hanyalah remahan rempeyek diantara para pejuang sustainable living ini. Jadi, mari belajar dari para senior, Bismillah... Alon-alon asal klakon 😊

Okey, itu makanan besar saya yang pertama di pekan 4 kelas ulat-ulat ini.

Makanan besar kedua : berhubungan dengan Enlightening Parenting. Sumber dari Cikgu Okina Fitriani dan tim sharing EP.

Perceptual Posision, pernah dengar?
Kalau saya mengiranya itu teknik menyelesaikan emosi dengan 3 kursi. Dimana kursi peetama untuk saya sebagai Bunda misalnya, kursi kedua untuk Elok, dan kursi ketiga untuk Mahmudah. Ternyata bukan, itu mah mirip teknik dissosiasi 😆

Yang benar, iya 3 kursi. Pertama untuk diri saya, kedua untuk orang yang dianggap sedang ada "masalah" dengan saya, ketiga untuk penasihat yang kita dengar nasihatnya.

Teknik ini digunakan apabila saya ingin mempunyai respon baru yang lebih memberdayakan terhadap orang lain yang saya anggap membuat "masalah" -yang tentunya nggak memberdayakan- di pikiran saya.

Contoh aja ya, setiap malam kalau saya ngobrol itu kadang Pak suami nggak fokus menatap mata saya. Kadang fokus sih meski pandangan lirak lirik kesana kemari. Kadang juga mendengarkan sambil ngeliat HP! Nangis nggak jadi curhat deh saya. Trus respon saya jadi negatif, berburuk sangka ke pak suami dan akhirnya suasana jadi panas. Hahaha...

Dengan Teknik Perceptual Position ini, saya ambil 3 kursi. Kursi 1 untuk peran sebagai saya, kursi 2 untuk peran pak suami, dan kursi 3 anggaplah untuk Mbak Eka yang nasihatnya saya dengar karena udah praktek duluan.

Satu orang untuk 3 peran, bergantian berbicara membahas "masalah" tadi. Pandangan dari sisi saya bagaimana, sisi suami bagaimana, dan dari penasihat bagaimana.

Hmmm, jadi setelahnya itu saya mendapatkan pemberdayaan berupa: Oh, suami saya memang auditori, jadi nggak perlu memandang mata apabila berbicara. Tapi kan saya visual, harus dong tatap mata saya! Lalu penasihat memberi masukan, yaudah karena memanh berbeda cara belajarny maka respon bunda seharusnya memahami bahwa nggak memandang mata itu nggak berarti nggak mendengarkan. Tapi ya memang itu HP mengganggu, gimana kalau bikin rules lagi yang harus dijalankan ketika ngobrol? No HP, apa pun alasannya. Hmmm, oke deh, nggak usah baper lagi kalau nggak dipandang mata.

Pada intinya, teknik-teknik di Enlightening Parenting ini merujuk ke NLP (Neuro Linguistic Program) yang ujungnya itu membuat pelakunya nggak baperan dan memiliki respon yang lebih memberdayakan. Penjelasan tentang Percetual Position bisa dibaca lebih lengkap disini.

Selain perceptual position, saya juga mendapatkan ilmu baru tentang memperlakukan anak perempuan di usia 7-baligh dari Cikgu Okina. Yang saya tahu bahwa di usia ini mereka butuh untuk dekat dengan ibu untuk belajar segala macam skill keperempuanan sebagai bekal kelak saat mereka menjadi istri dan ibu. Namun, ada tambahan dari beliau, bahwa anak perempuan rentan terhadap kritik (research by Baron-Coher). Jadi, sebisa mungkin ibu harus belajar untuk:

  • nggak mengkritik penampilan fisik anak, misalnya "Ih, kamu kok item amat sih."
  • nggak membandingkan anak dengan dirinya. 
  • dilarang mengeluh atas peran jenisnya, contoh "Ya begini nih nggak enaknya jadi perempuan," karena akan berpengaruh pada self image dan kesehatan mentalnya.
  • steady and contented (menenangkan dan menyenangkan) dengan bantuan suami tentunya namun tetap mom's steadiness and contented are her responsibilities ya.

Terakhir, makanan besar saya adalah tentang kebersyukuran. Saya belajar tentang rejeki. Bahwa rejeki itu nggak selalu berbentuk uang, kita semua tahu. Dan bahwa uang atau nominal di rekening kita juga belum tentu rejeki. Pernah kan punya uang lebih ternyata ada adik kita yang tiba-tiba meminta bantuan untuk membayar semesteran? Ya itu artinya memang ada rejeki orang lain yang Alloh titipkan pada kita, pafa rekening kita.

Kadang, kita nggak menyadari ini dan membuat kita sendiri akhirnya kurang bersyukur. Sedih!

Padahal, rejeki itu sudah dijamin Alloh. Nggak akan ketuker atau nggak menemukan pemiliknya. Tugas kita hanyalah berikhtiar, hak Alloh untuk menentukan rejeki.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.