11 September 2019

Bagaimana Menjalani Pengasuhan Tanpa Suara Melengking



Bismillah, semua kita pasti mengakui bahwa anak adalah anugrah. Tapi kenapa kita masih sering mudah bersuara melengking pada anak? Bukankah mereka adalah tamu istimewa yang telah kita undang kehadirannya, dengan persetujuan Sang Maha Kuasa?


Tulisan ini adalah ringkasan dari serangkaian materi dalam Buku Enlightening Parenting, yang saya modifikasi sendiri dengan bahasa saya.

Baiklah, langsung saja, bagaimana caranya agar kita nggak mudah bersuara melengking pada anak-anak? 

Pertama, ajukan pertanyaan: Sebenarnya siapa yang paling betanggung jawab dengan emosi kita? Jawabannya pastilah diri kita sendiri. Baik itu emosi positif ataupun negatif, semuanya kita yang memiliki. Jadi, yang memilih untuk berbicara melengking saat menghadapi anak sebenarnya adalah kita sendiri. 

Lanjut ke pertanyaan kedua: Jika yang memilih untuk berbicara melengking saat menghadapi anak sebenarnya adalah kita sendiri, bisakah kita memilih untuk menyelesaikan emosi kita dahulu? Sehingga saat berbicara pada anak, posisi emosi kita adalah netral. Jawabannya tergantung dengan kemauan kita, kan?

Oke, jika jawabannya adalah "saya nggak bisa nggak melengking kalau anak saya sedang emosi" atau "saya itu orangnya emosian, nggak bisa sabar" maka sebenarnya itu adalah doa yang terus dipanjatkan lewat kata-kata atau "labelling" yang dibuat sendiri.

Jika jawabannya "mungkin saya bisa belajar untuk menyelesaikan emosi saya terlebih dahulu" maka mari kita lanjutkan ke tahap bagaimana cara menyelesaikan emosi kita. Karena, apabila anak menjerit /marah/kesal dll lalu kita ikut marah/melengking/kesal juga, artinya kita tertular emosi anak. Bagaimana kita mau membantu anak menyelesaikan emosinya kalau kita juga sedang emosi? 

Kita bisa membantu anak menyelesaikan emosinya dengan syarat kita dalam keadaan netral, bukan dalam kondisi sedang emosi. 

Selanjutnya, bagaimana menetralkan kondisi kita saat anak sedang emosi? atau bagaimana caranya agar kita bisa menyelesaikan emosi kita?

Banyak cara! Salah satunya dengan melakukan dissosiasi.

Langsung pakai contoh ya biar lebih gampang memahaminya.

Misalnya saya (Bunda) menyuruh Rizma untuk stop bermain dan menyuruhnya untuk mengaji. Tiba-tiba Rizma bilang "Nggak mau, ah!" dengan wajah cemberut.

Kemudian, Bunda mengulang kalimatnya dan Rizma tetap saja menjawab dengan jawaban yang sama "Nggak mau!"

Otomatis, Bunda jadi emosi: kenapa ini anak kok disuruh ngaji nggak mau, maunya malah main terus. Gimana sih!

Sudah bisa ditebak bagaimana kelanjutan kejadian ini. Dan hasilnya, Rizma tetap nggak mau mengaji, Bunda marah-marah atau menyerah dengan keadaan karena buntu berpikir akibat emosi sedang naik.

Yap, jadi ternyata emosi berbanding terbalik dengan logika. Kalau emosi naik, maka logika turun. Begitu juga sebaliknya, kalau logika naik, maka emosi turun.

Jadi, untuk membuat kondisi yang sedang emosi ini, Bunda punya PR untuk menaikkan logika agar emosinya bisa turun. 

Nah, pada kondisi ini, Bunda mengalami yang namanya asosiasi, yaitu kondisi dimana diri sendiri sedang mengalami suatu kejadian. Jadi, di sini Bunda dapat melihat, mendengar dan merasakan secara langsung. Ibarat kalau nonton film, Bunda sedang jadi pemain filmnya.

Dissosiasi adalah kondisi dimana diri sendiri melihat sebuah kejadian sebagai pihak ketiga. Artinya, diri terlepas dari suatu kejadian karena posisinya hanya mengamati.

Dalam kasus Bunda dan Rizma ini, bunda yang sedang mengalami asosiasi dapat melakukan dissosiasi dengan cara keluar dari kejadian yang sedang dialami. Caranya, bisa dengan mundur satu langkah lalu mengamati kejadian Bunda sedang menyuruh Rizma mengaji, atau dengan menarik nafas hingga tenang lalu membayangkan sedang menonton sebuah film Bunda menyuruh Rizma mengaji. Anggap saja yang sedang mengamati ini bernama Ibun.

Ibun yang sedang menonton atau mengamati kejadian tadi, tentu saja tidak emosi karena tidak terlibat langsung dalam kejadian. Kalau sudah begini, artinya kondisi menjadi netral, ibun tidak sedang emosi.

Langkah selanjutnya adalah menganalisis. Siapa yang menganalisis? Ibun.

Saat menganalisis, Ibun akan melihat kejadian Bunda yang sedang menyuruh Rizma mengaji saat sedang bermain, kemudian Rizma menolak dengan wajah cemberut. Kemudian Bunda jadi emosi. 

Lalu, analisis kenapa bunda jadi emosi? Kenapa Rizma nggak mau mengaji? Dst

Hasil analisis, akan menggiring Ibun menasihati Bunda kemudian membantu Bunda menemukan solusi untuk kejadian yang sedang dilihat. 

Misalnya, dari analisis terlihat bahwa Rizma cemberut saat diminta stop bermain agar mengaji. Mungkin saja Rizma merasa keasikannya distop tiba-tiba sehingga Rizma merasa kesal kemudian cemberut dan menolak untuk mengaji. Saran solusi, mungkin Rizma perlu waktu bermain barang lima menit lagi sebelum mengaji.

Jika ternyata setelah dilakukan solusi pertama yaitu diberi waktu main 5 menit lagi tetap tidak mau mengaji, maka analisis sebab tidak mau mengajinya. Gunakan kata "apa" dari pada "kenapa"

"Apa yang membuat Rizma tidak mau mengaji?"

Dari situ, Rizma akan memberi jawaban yang lebih dapat diterima dari pada bila hanya bertanya kenapa tidak mau mengaji. Karena kata kenapa akan membawa pada alasan-alasan yang terkadang kurang dapat diterima, seperti "ya nggak mau aja". Sedangkan pertanyaan "Apa yang membuat Rizma tidak mau mengaji?" akan menggali apa yang dirasakan Rizma sehingga menyebabkan dia tidak mau mengaji.

Mungkin jawabannya karena Rizma merasa tidak nyaman saat mengaji, atau Rizma mengantuk. Dari jawaban Rizma ini, Bunda bisa memahami dan membantu Rizma menemukan solusi atas apa yang dirasakan Rizma.

Intinya adalah pahami bahwa yang sedang emosi adalah anak, bukan saya, ibunya. Jadi, kalau sudah mulai ikutan emosi, artinya kita tertular emosi anak. Dan hal yang pertama harus dilakukan adalah menyelesaikan emosi diri sendiri sebelum berusaha untuk membantu anak menyelesaikan emosinya.

Jangan lupa juga selalu berdoa kepada Sang Pemilik hati anak-anak kita, juga Sang Pemilik diri ini.


"Letak do'a itu bukan di akhir, namun doa itu seharusnya terpanjat dari mata terbuka hingga kembali terpejam."
___

Alhamdulillah, terima kasih kepada Cikgu Okina dan semua tim sharing Enlightening Parenting atas semua ilmu yang telah dishare baik lewat buku maupun sharing di instagram/blog.

Semoga dimampukan, dimudahkan, aamiiin...

<3 p="">

1 komentar:

Terima kasih telah membaca postingan ini :) silakan tinggalkan jejak di sini. Maaf ya, spam&backlink otomatis terhapus.